Rabu, 03 November 2010

Status Tersangka Kepala Daerah

MASIH perlukah kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat? Itulah pertanyaan yang relevan diajukan mengingat begitu banyak kepala daerah yang korupsi.

Bayangkan, sejak kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat pada 2005, sedikitnya 150 bupati/wali kota dan 17 gubernur masuk bui karena korupsi. Masih banyak lagi yang berstatus tersangka, tetapi tetap aktif sebagai kepala daerah.

Fakta itu memperlihatkan pemilihan umum kepala daerah sebagai perwujudan demokrasi gagal melahirkan pemimpin daerah yang bersih, yang memiliki integritas.

Selain itu, kita membiarkan jalannya pemerintahan di daerah terganggu karena tetap dipimpin para tersangka, bahkan dipimpin dari balik jeruji besi tahanan.

Kepala daerah yang berstatus tersangka sepatutnyalah diasumsikan memikul beban psikologis yang amat berat. Ia sesungguhnya telah kehilangan wibawa dan kepercayaan. Bagaimana ia bisa menjalankan kepemimpinannya dengan efektif tanpa kepercayaan rakyatnya?

Beban psikologis dan ketidakpercayaan rakyat itu seharusnyalah dijadikan pertimbangan utama dalam mengambil kebijakan terobosan.

Tidak ada jalan lain, kepala daerah yang menjadi tersangka harus langsung diberhentikan sementara. Tidak perlu menunggu status terdakwa sebagaimana ditentukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pemberhentian sementara itu juga bertujuan agar aparat penegak hukum tidak sungkan mengusut kepala daerah berstatus tersangka. Lebih jauh lagi, pemberhentian sementara kepala daerah berstatus tersangka itu harus dilihat sebagai cerminan kemauan politik negara untuk menjadikan korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang mesti dibumihanguskan dengan cara luar biasa pula. Cara luar biasa itu ialah menonaktifkan kepala daerah berstatus tersangka tanpa harus menunggu menjadi terdakwa.

Hal itu bukan mengada-ada sebab ada rujukannya, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12 huruf e menyebutkan untuk melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK diberi otoritas penuh untuk 'memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya'. Itu artinya kepala daerah tersangka bisa diberhentikan sementara tanpa menunggu menjadi terdakwa. Pada sisi lain, ketentuan pasal itu hanya bisa diaplikasikan bila atasan kepala daerah, dalam hal ini presiden, mempunyai kemauan memberantas korupsi.

Adalah sangat mendesak untuk merevisi ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, khususnya Pasal 31 yang menyatakan kepala daerah diberhentikan sementara oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara. Kata 'didakwa' mesti diubah menjadi 'disangka'.

Revisi itu juga bertujuan menempatkan kepala daerah sama di depan hukum karena kepadanya juga diterapkan ketentuan perundang-undangan yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar